Minggu, 04 Desember 2011

Mati Batang Otak


I.1 Pendahuluan
            Mati adalah kondisi dimana terjadi kerusakan irreversible dari seluruh fungsi organ-organ tubuh. Otak merupakan bagian penting yang berkaitan dengan fungsi organ-organ tubuh. Kematian dari otak berarti kematian seluruh tubuh. Meskipun, jaringan-jaringan tubuh dan organ yang terisolasi dapat tetap berfungsi saat terjadi kematian pada otak. Kematian otak akan berefek kehilangan fungsi secara permanen dari cerebral dan batang otak. Kriteria diagnostic akan berbeda pada masing-masing negara, tetapi pengertian dari kematian otak pada umumnya sama. Dalam mendiagnosa kematian otak sangat berhubungan dengan donor organ. Pada sebagian besar negara memiliki criteria diagnostic yanag spesifik terhadap kematian otak pada donasi organ.  Pada umumnya para praktisi tidak selalu mematuhi pedoman yang ada. Tujuan objektif dari artikel ini adalah untuk menilai pedoman dan criteria diagnostic kematian otak yang diterapkan pada praktek sehari-hari.

I.2 Kriteria Klinis
            Mendiagnosis kematian otak biasanya dilihat dari gejala klinis. Criteria yang dimaksud adalah akut dan kehilangan fungsi dari cerebellum dan batang otak yang irreversible pada pemeriksaan neurologis. Minimal ada dua pemeriksa untuk menentukan diagnose kematian otak. ketentuan ini sesuai dengan aturan bahwa dibutuhkan 1-4 pemeriksa. Dibeberapa Negara membutuhkan salah satu pemeriksa merupakan spesialis neurologi. Dalam menegakkan diagnose kematian otak seharusnya sesuai dengan criteria klinis dan pemeriksaan yang tepat. Dianjurkan untuk melibatkan pemeriksa yang independen atau yang tidak terlibat dalam pemulihan dan perawatan pada pasien donor organ. Setelah penilaian selesai wajib dilakukan evaluasi lanjutan. Lamanya penilaian lanjutan tergantung usia. Seharusnya tidak kurang dari 48 jam untuk bayi usia 7 hari – 2 bulan, 24 jam bagi usia 2 bln – 1 th dan 12 jam bagi usia 1 th – 18 th. Pada orang dewasa observasi dilakukan paling sering 6 jam terutama untuk pasien dengan donasi organ. Pengamatan bisa sampai 24 jam bila pasien memiliki potensi hipoksia iskemik encephalopathy yang reversible. Pada umumnya disarankan untuk memperhatikan proses kematian otak yang terbagi dalam 4 stage yaitu : etilogi, setting klinis, pemeriksaan dan tes apneu.

I.2.1 Etiologi
            Sebelum melakukan penilaian maka bukti klinis dan neuroimaging kerusakan dari susunan saraf pusat yang akut dan permanen yang sesuai dengan criteria kematian otak harus tetapkan. Trauma dan iskemia hipoksik penyebab yang paling sering. Tetapi kondisi apapun yang dapat menyebabkan kerusakan otak yang luas dan iireversible dapat menyebabkan kematian otak termasuk infeksi dan tumor. Komplikasi medis dapat mempengaruhi penilaian klinis, seperti gangguan asam basa harus dikoreksi dahulu untuk evaluasi yang lebih akurat. Sebaiknya pengobatan yg poten atau intoksikasi obat yang reversible atau keracunan harus disingkirkan.

I.2.2 clinical setting
            Suhu tubuh dan tekanan darah yang normal dibutuhkan untuk evaluasi yang akurat. Suhu ≥ 36,5°C, tekanan darah sitolik ≥ 90 mmHg dan status normovolemik. Hipotermia dan hipotensi dapat mengkaburkan diagnose kematian otak. Ada sedikit bukti untuk memilih ambang batas suhu. Oleh karena itu tahun 2006 forum kanada merekomendasikan suhu 34°C sebagai standar. Pasien juga harus bebas dari efek sedasi dan paralisi neuromuscular.
I.2.3 Pemeriksaan Klinis
            Kemampuan dalam melakukan pemeriksaan neurologis yang baik sangat dibutuhkan. Pada pemeriksaan harus menunjukkan pasien dalam kondisi koma unresponsive dengan kehilangan fungsi cerebellum dan batang otak termasuk tidak ada respon motorik dengan stimulus nyeris diatas leher, tidak ada reflek pupil, tidak ada reflek kornea, tidak ada reflek okulovestibular,tidak ada jaw jerk, tidak ada reflek gag, tidak batuk saat disuction dan muncul apneu saat di tes apneu. Selain itu ada okulocephalic (doll’s eye manuever), menghisap dan rooting reflek yang seharusnya tidak ada pada anak-anak. Keadaan koma pasien dapat dinilai dengan tidak adanya tanda dan tidak ada respon spontan saat diberi stimulus. Ini termasuk kompleks dan gerakan bertujuan seperti menarik wajah dan meringis. Decerebrate dan decorticate posturing berasal dari otak dan seharusnya tidak terlihat pada kematian otak. Spontan, simple, nonpurposeful berasal dari spinal cord dan biasanya terjadi pada kematian otak. Semua itu adalah respon umum dan dapat dipicu oleh rangsang taktil. Gejala diatas merupakan hasil dari hilangnya hambatan kortikal pada LMN.


I.2.4 Tes Apneu
            Tes apneu ini dilakukan setelag gejala yang lain dari kematian otak sudah ditemukan. Tes ini disebut positif bila nilai Pa CO2 > 60 mmHg atau 20 mmHg lebih tinggi dari batas bawah. Pelepasan ventilator sering dikaitkan dengan hipoksia, bradikardi dan hipotensi. Hal ini dapat dihindari dengan cara meningkatkan oksigean inspirasi saat dan setelah dilakukan tes. Preoksigenasi berfungsi mengurangi simpanan nitrogen dan mempercepat oksigen transport. Fraksi oksigen saat inspirasi seharusnya 1,0 selama10 menit, sampai PaO2 maksimum 200 mmHg. Lalu ventilator dilepas dan oksigen dipertahankan dengan kanul trachea 6L/menit. Observasi dilakukan untuk melihat gerakan saat bernafas selama 10 menit. PaCO2 harus diukur lagi sebelum melakukan pemasangan ventilator karena untuk melihat apakah target yang ditentukan sudah tercapai. Tes ini bisa dibatalkan bila ditemukan hipotensi atau bradikardi. Hal ini bisa disebabkan preoksigenasi yang tidak adekuat, oksigenasi yang tidak adekuat saat tes dilakukan atau kondisi cardiopulmo yang sudah jelek. Dalam kondisi ini dibutuhkan tes ancillary.

1.2.5 Ancillary Tes
            Tes ini merupakan pemeriksaan klini yang akurat dan komprehensif dalam menentukan kematian otak. kadang penilaian secara klinis tidak akurat. Kondisi ini termasuk bila nervus kranialis tidak dapat diperiksa dengan baik. Ketika terjadi paralisis neuromuscular atau efek sedasi sulit untuk menghambat terjadinya kerusakan multiorgan dan bila apneu tes tidak bisa dilakukan dengan sempurna. Kondisi ini membutuhkan ancillary tes. Tes ancillary dibutuhkan pada bayi usia kurang dari 1 tahun. Paling tidak dilakukan 2 kali tes untuk bayi usia kurang dari 2 bulan dan 1 kali tes untuk bayi usia antara 2 bulan sampai 1 tahun. Dibeberapa Negara menganjurkan pemeriksaan rutin sebagai pelengkap pemeriksaan pada oarangtua, anak-anak dan dewasa. Sayangnya sampai saat ini belum tersedia tes tambahan yang dapat menunjukkan kriteria kematian otak. Tes tambahan untuk mendiagnosa kematian otak dibagi menjadi  subgroup yaitu neurofisiologi dan aliran darah otak.
  1. EEG
Ini merupakan tes neurofisiologi yang paling sering digunakan untuk melihat kematian otak. Flat EEG diharapkan muncul pada kematian otak. secara teknis EEG mengandung aliran listrik kortikal yang ritmik antara 2 mV selama 30 menit. EEG paling sering digunakan untuk tes konfirmasi dan merupakan bagian penting dari criteria amerika untuk diagnose kematian otak. Namun, EEG hanya menampilkan potensial sinaptik dr cerebral neokorteks dan tidak mencakup dari subkortikal seperti batang otak atau thalamus.
  1. Pembangkit rangsang
Pembangkit rangsang somatosensoris dan pembangkit rangsang pendengaran pada batang otak jarang dilakukan untuk pemeriksaan tambahan. Pada SSEPs, tidak adanya respon sensoris dari kortek parietal yang bilateral saat dilakukan stimulasi pada saraf medianus mendukung terjadinya kematian otak. tidak adanya respon dari batang otak saat dilakukan stimulasi pendengaran (gel 3-5) begitu juga dengan respon koklea (gel 1) kondisi ini dibutuhkan pada pemeriksaan BAEPS untuk mendukung diagnosis kematian otak. Tes ini mengaktifkan discrete dan dibatasi oleh jalur sensoris pada batang otak. oleh karena itu, mereka tidak menguji integritas fungsional struktur SSP lainnya. Selain itu, lesi perifer SSP dapat mempengaruhi hasil. Hasil positif palsu terutama pada pasien dengan kelainan batang otak primer. Namun, komponen dari SSEPs dan BAEPs sedikit dipengaruhi oleh obat sedative dan anastesi.
  1. Analisa aliran darah otak
Tidak adanya aliran darah pada otak umumnya dikaitkan dengan kematian otak. kematian otak biasanya dikaitkan dengan peningkatan tekanan intracranial yang disebabkan tumor atau edema. Berkurangnya aliran darah ke otak paling sering karena tekanan intracranial melebihi tekanan arteri. Tes untuk melihat aliran darah otak meliputi nuclear medicine, cerebral angiography, transcranial Doppler, magnetic resonance angiography (MRA), and
computed tomographic angiography (CTA). Tes ini tidak dipengaruhi oleh obat, kelainan sistemik dan hipotermia. Namun tekanan darah harus baik. Keadaan aliran darah otak pada intracranial kompartemen tidak mempengaruhi diagnose kematian otak. Hal ini dapat terjadi pada TIK yang rendah seperti halnya, fraktur tulang tengkorak, kraniotomi, drain pada venrikular dan pada bayi dengan sutura yang terbuka. Karena adanya keterbatasan pada tes ini dialakukan penelitian lanjutan dengan mengembangkan teknik dan pemriksaan radiologi diperlukan.


a.       Nuclear Medicine
Dua teknik radionuclide utama yang digunakan untuk mengevaluasi kematian otak adalah radionuclide angiography dengan non agent lipofilik dan pencitraan parenkim dengan agen lipofilik. Tracer paling sering dipakai adalah HMPAO. Tracer masuk parenkim otak untuk melihat aliran darah setempat dan tidak menunjukkan redistribusi dalam beberapa jam sehingga mudah melakukan dan menginterpretasikan gambar. Tidak adanya uptake isotope (hollow skull phenomenon) mengindikasikan tidak adanya perfusi di otak dan menunjang diagnose kematian otak. tes ini berguna pada pasien anak-anak dengan false positif terbatas dan negative palsu.
b.      Cerebral Angiography
Angiografi cerebral tradisional adalah gold standart untuk mengetahui aliran darah otak pada kasus kematian otak. namun tes ini tergolong invasive dan perlu dikirim ke bagian radiologi. Angiografi cerebral menunjukkan tidak adanya aliran darah pada bifurkasio karotis atau sirkum wilisi. Kontras akan berhenti atau gambarang pengisian pembuluh darah yang terhambat pada arteri intracranial merupakan stage awak dari proses kehilangan perfusi pada otak. hasil negative palsu menunjukkan aliran darah yang normal dibeberapa tempat pembuluh darah intracranial, dan mungkin meskipun jarang keadaan tekanan intracranial menurun (kraniotomi, VP Shunt atau bayi dengan open suture). Oleh karena itu cerebral angigrafi tidak hanya invasive tetapi juga beresiko dan mungkin tidak akurat.
c.       Transcranial Doppler
TCD adalah alat yang inovatif, aman dan non invasive untuk pemantauan aliran darah cerebral baik statis maupun dinamis. Gelaombang sistolik yang rendah tanpa aliran diastolic ataugambaran aliran bergema menunjukkan hambatan vaskuler yang berat dan mendukung diagnose kematian otak. penebalan tulang temporal dapat mengganggu evaluasi 25 % pasien. Teknik ini dan beberapa teknik lainnya dapat memberikan hasil positif palsu, oleh karena itu penggunaan TCD dibatasi. Meskipun dilaporkan bahwa sensitifitas 70% dan spesifitas 97%. Prosedur ini butuh penelitian lanjutan terutama penggunaan pada anak muda.


d.      MRA (Magnetic resonance angiography)
Tidak adanya aliran darah di gambaran MRA mendukung diagnosis kematian otak. pada penelitian kasus pemakaian MRA mungkin bermanfaat pada pasien dengan kematian otak. MRA akan kesulita dilakukan pada pasien tidak stabil yang mana meminta pasien untuk tidak bergerak dalam waktu yang lama. MRA mungkin terbukti lebih bermanfaat dimasa mendatang.
e.       CTA
Merupakan teknik yang lebih invasive dibandingkan MRA, teknik ini memerlukan kontras. Pada beberapa kasus yang dilaporkan ditemukan tidak adanya perfusi pada sirkulasi cerebral pada kasus kematian otak. prosedur ini memerlukan penelitian lebih lanjut sebelum direkomendasikan.
  1. Kesalahan dalam diagnose
Misdiagnosa jarang sekali terjadi, mungkin terjadi apabila protap yang ada tidak diikuti. Khususnya pengalaman dari pemeriksa yang kurang. Hipotermi, keracunan obat dan metabolic encepalopati biasanya dating dengan gangguan otak yang berat dan gangguan pada batang otak yang akibatnya menjadi kematian otak. oleh karena itu penyulit diatas harus dikoreksi sebelum keputusan diambil. Kadang terfokus pada locked syndrome dan guillain bare syndrome yang berat dan mungkin memberi hasil saat pemeriksaan neurologis seperti kasus kematian otak. locked in syndrome terjadi karena kerusakan fokal pada basis pons biasanya karena emboli pada arteri basilaris. Kesadaran pasien dipertahankan namun pasien tidak dapat menggerakkan anggota badannya. Hanya gerakan berkedip dan gerak mata ke atas saja yang masih ada. Pasien dengan syndrome ini akan keliru bila dianggap tidak sadar. Pasien dengan kelainan batang otak primer yang diyakini terjadi kematian otak harus diperiksa dengan hati-hati untuk memastikan tidak jatuh pada syndrome lock in. pemriksaan neurologis dengan seksama dapat dengan mudah menyingkirkan Guillain Bare syndrome. Kemungkinan terjadinya kematian otak tidak akan salah diagnose bila criteria kematian otak diterapkan.
  1. Memberitahu Keluarga
Setelah diagnose ditegakkan maka informasi ini harus disampaikan kepada keluarga pasien. Hal ini biasanya berat dan mendapat respon yang kurang baik. Sebagai catatan pengertian  kematian setiap orang berbeda. Kematian otak erat kaitannya dengan donasi organ dan ini dapat mempengaruhi keputusan keluarga. Perbedaan criteria antara kardio-pulmoner dan kematian otak harus dijelaskan. Dibutuhkan penelitian yang bagus berkaitan dengan komunikasi tentang kematian otak dan endolife dengan keluarga pasien dalam kondis yang gawat.
  1. Prognosa
Kematian otak jarang terjadi lebih dari beberapa jam sebelum diikuti kematian seluruh tubuh. Iskemia otak diawali dengan system saraf simpatis yang kolaps dengan vasodilatasi dan disfungsi jantung. Edema pulmo dan diabetes insipidus sering menjadi konsekuensi awal dari kematian otak dan dapat memicu terjadinya kegagalan cardiopulmonum. Jarang terjadi kondisi somatic pasien lebih lama bertahan pada kasus kematian otak. namun, diagnose kematian otak menjadi ragu bila terdapat klinis stabil yang berkepanjangan terutama pada pasien anak-anak. Beberapa keluarga dengan kepercayaannya menentang kesamaan antara kematian dengan kematian otak. Di Arab Saudi menurut hokum agama apabila ada pasien didiagnosa kematian otak maka dokter tidak boleh melakukan tindakan penyelamatan hidup pasien.
  1. Kesimpulan
Kematian otak adalah hilangnya fungsi otak dan batang otak secara utuh dan irreversible. Hal ini dianggap juga sebagai kematian seluruh tubuh. Penegakkan diagnose kematian otak biasanya secara klinis tapi ada syarat-syarat yang dibutuhkan. Hal ini termasuk penyebab primer dan sekunder serta harus memisahkan dengan hipotermia, intoksikasi obat, keracuna dan kelainan metabolic. Pada pemeriksaan neurologi menunjukkan kondisi koma, tidak ada tespon cerebral dengna rangsang luar dan tidak ada reflek batang otak. Apnea tes harus dilakukan pada pasien dengan criteria kematian otak lainnya. Pemeriksaan tambahan dibutuhkan bila secara klinis tidak cukup dan sebagai tambahan dari penilaian klinis pada anak-anak. Pemeriksaan EEG dan radionuclide adalah 2 teknik paling sering digunakan untuk mengkonfirmasi kematian otak. pemeriksaan EEG lebih baik digunakan pada kondisi TIK yang turun seperti hipotensi dan kraniotomi. Sedangkan pemeriksaan aliran darah otak lebih baik untuk kondisi hipotermia, metabolic atau obat.

Selulitis


3.1              Pendahuluan
Selulitis adalah peradangan akut terutama menyerang jaringan subkutis, biasanya didahului luka atau trauma dengan penyebab tersering Streptokokus betahemolitikus dan Stafilokokus aureus. Pada anak usia di bawah 2 tahun dapat disebabkan oleh Haemophilus influenzae; keadaan anak tampak sakit berat, sering disertai gangguan pernapasan bagian atas, dapat pula diikuti bakteremi dan septikemi (Herry E.J., 2010)
Selulitis merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri,yang menyerang jaringan subkutis dan daerah superficial (epidermis dan dermis). Faktor resiko untuk terjadinya infeksi ini adalah trauma lokal (robekan kulit), luka terbuka di kulit atau gangguan pada pembuluh vena maupun pembuluh getah bening. Angka kejadian  infeksi kulit ini kira - kira mencapai 10% pasien yang dirawat di rumah sakit (Fitzpatrick, Thomas B, 2008).
Daerah predilesi yang sering terkena yaitu wajah, badan, genitalia dan ekstremitas atas dan bawah. Sekitar 85% kasus erysipelas dan selulitis terjadi pada kaki daripada wajah, dan pada individu dari semua ras dan kedua jenis kelamin. Permulaan erysipelas dan selulitis didahului oleh gejala prodormal, seperti demam dan malaise, kemudian diikuti dengan tanda-tanda peradangan yaitu bengkak, nyeri, dan kemerahan. Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis. Penanganannya perlu memperhatikan faktor predisposisi dan komplikasi yang ada. (Loretta Davis, MD, 2010).
3.2              Patofisiologi
3.3              Manifestasi Klinis
Gambaran kliniknya tergantung  akut atau tidaknya infeksi. Umumnya pada semua bentuk ditandai dengan kemerahan dengan batas tidak jelas, nyeri tekan dan bengkak. Penyebaran perluasan kemerahan dapat timbul secara cepat di sekitar luka/ulkus. Disertai dengan demam dan lesu. Pada keadaan akut, kadang-kadang timbul bula. Dapat dijumpai limfadenopati limfangitis. Tanpa pengobatan yang efektif dapat terjadi supurasi lokal (flegmon, nekrosis atau gangren). (Arnold HL, dkk, 2000)
.
3.4              Komplikasi
Pada anak dan orang dewasa yang immunocompromised, penyulit pada selulitis dapat berupa gangren, metastasis, abses dan sepsis yang berat. Selulitis pada wajah merupakan indikator dini terjadinya bakterimia  stafilokokus betahemolitikus grup A.Selulitis pada wajah dapat menyebabkan penyulit intra kranial berupa meningitis. (Fitzpatrick, Thomas B, 2008).

3.5              Penatalaksanaan
Pada selulitis karena H. influenza diberikan ampisilin untuk anak (3bln-12thn) 100-200 mg/kg/d (150-300mg), >12 tahun seperti dosis dewasa. Selulitis karena streptokokus diberi penisilin prokain G 600.000-2.000.000 IU IM selama 6 hari atau dengan pengobatan secara oral dengan penisilin V 500mg setiap 6 jam, selama 10-14 hari
Pada selulitis yang ternyata penyebabnya bukan S.aureus penghasil penisilinase (non SAPP) dapat diberi penisilin. Pada yang alergi terhadap penisilin, sebagai alternatif digunakan eritromisin (dewasa 250-500 gram peroral; anak-anak: 30-50 mg/kgbb/ hari tiap 6 jam) selama 10 hari. Dapat juga digunakan klindamisin (dewasa 300-450 mg/hr PO; anak-anak 16-20 mg/kgbb/hari setiap 6-8jam) (Fitzpatrick, Thomas B, 2008). Pada yang penyebabnya SAPP selain eritnomisin dan klindamisin, juga dapat diberikan dikloksasilin 500mg/hari secara oral selama 7-10 hari.
Pada pasien ini dilakukan insisi atau drainase, jika pasien selulitis ini telah terjadi supurasi. (Arnold HL, dkk, 2000)

Fraktur Basis Cranii


FRAKTUR BASIS CRANII


A.    Pendahuluan
Cedera kepala adalah penyebab utama kematian, dan kecacatan. Manfaat dari kepala, termasuk tengkorak dan wajah adalah untuk melindungi otak terhadap cedera. Selain perlindungan oleh tulang, otak juga tertutup lapisan keras yang disebut meninges fibrosa dan terdapat cairan yang disebut cerebrospinal fuild (CSF). Trauma tersebut berpotensi menyebabkan fraktur tulang tengkorang, perdarahan di ruang sekitar otak, memar pada jaringan otak, atau kerusakan hubungan antar nervus pada otak.
Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek „remote‟ dari benturan pada kepala („gelombang tekanan‟ yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Dalam beberapa studi telah terbukti fraktur basis cranii dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme termaksud ruda paksa akibat fraktur maksilofacial, ruda paksa dari arah lateral cranial dan dari arah kubah cranial, atau karena beban inersia oleh kepala.
Pasien dengan fraktur basis cranii (fraktur pertrous os temporal) dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan Rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial. Untuk penegakan diagnosis fraktur basis cranii, diawali dengan pemeriksaan neurologis lengkap, analisis laboratorium dasar, diagnostic untuk fraktur dengan pemeriksaan radiologik.
Penanganan korban dengan cedera kepala diawali dengan memastikan bahwa airway, breathing, circulation bebas dan aman. Banyak korban cedera kepala disertai dengan multiple trauma dan penanganan pada pasien tersebut tidak menempatkan penanganan kepala menjadi prioritas, resusisati awal dilakukan secara menyeluruh.

Anatomi Basis Cranii
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fossa cranii anterior, fossa cranii media dan fossa cranii posterior.
Fossa crania anterior menampung lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis spenoidalis. Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina cribiformis os etmoidalis di medial. Permukaan atas lamina cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan lubung lubang halus pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius.
Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes atau periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari fraktur basis cranii fossa anterior.
Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri yang menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan a.oftalmica, sementara bagian posterior dibatasi oleh batas atas pars petrosa os temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars os temporal.
Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor os sphenoidalis dilalui oleh n. lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n, occulomotorius dan n. abducens.
Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini merupakan tempat yang paling lemah dari basis cranii. Secara anatomi kelemahan ini disebabkan oleh banyak nya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering terkena cedera. Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi (otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral sinus cavernosus robek.
Fossa cranii posterior menampung otak otak belakang, yaitu cerebellum, pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggi superior pars petrosa os temporal dab di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa os occipital. Dasar fossa cranii posterior dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan squamosa os occipital dan pars mastoiddeus os temporal.
Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis assendens n. accessories dan kedua a.vertebralis.
Pada fraktur fossa cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di otot otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera

Mekanisme Fraktur Basis Cranii/Basilar Skull Fracture (BSF)
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek „remote‟ dari benturan pada kepala („gelombang tekanan‟ yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.
Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur basis cranii akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada area kubah non-kranial, yang disajikan dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan bermotor, telah didokumentasikan. Para peneliti menemukan fraktur basis cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah saja.
Pada studi eksperimen berdasarkan pengujian mayat, Gott et al.(1983) meneliti secara rinci tengkorak dari 146 subjek yang telah mengalami benturan/ruda paksa pada area kepala. 45 kasus skull fraktur diamati secara rinci. Terdapat 22 BSF pada grup ini. Penyebab dari kasus tersebut disebabkan oleh ruda paksa pada area frontal (5 kasus), daerah Temporo-parietal tengkorak (1 kasus), seluruh wajah (2 kasus) dan berbagai jenis ruda paksa kepala lainnya (14 kasus).
Saat memeriksa respon leher akibat beban daya regang aksia, Sances et al. (1981) mengamati BSF tanpa kerusakan ligamen melalui analisa quo-statistic didapatkan 1780N sementara dan 3780N tampak utuh pada area leher, kepala dan tulang belakang.
Beberapa peneliti mengamati complex kepala-leher terhadap ruda paksa dari arah superior-inferior. Secara umum, menunjukkan bahwa lokasi skull fraktur hasil dari ruda paksa langsung. Ketika area kepala terlindungi, leher menjadi wilayah yang paling rentan terhadap cedera pada tingkat kekuatan di atas 4 kN (Alem et al 1984). Para peneliti menguji 19 cadaver dalam posisi supine dan hanya mampu menghasilkan BSF tunggal. Fraktur basis cranii membutuhkan durasi yang rendah (3 ms), energi tinggi (33 J) ruda paksa dengan kekuatan benturan dari 17 kN pada kecepatan ruda paksa 9 m /s.
Hopper et al. (1994) melakukan dua studi eksperimental pada mayat bertujuan untuk memahami mekanisme biomekanik yang mengakibatkan fraktur basis cranii ketika kepala mandibula yang dikenakan ruda paksa:
1. Pada studi awal, cedera yang dapat ditoleransi oleh mandibula ketika mengalami ruda paksa adalah pada area pertengahan simfisis atau area mentalis (dagu). Enam dampak yang dinamis dengan jalur vertikal pada satu tes dilakukan dengan menggunakan uji quasi-static. Suatu ruda paksa yang bervariasi diberikan untuk menilai pengaruh yang terjadi. Ditemukan bahwa toleransi energi ruda paksa untuk fraktur mandibula pada ke enam tes tersebut adalah 5270 + 930N. Pada setiap tes, dijumpai fraktur mandibula secara klinis namun tidak menghasilkan fraktur basis cranii.
2. Studi kedua menilai toleransi fraktur basis cranii ketika beban langsung diberikan kearah Temporo-mandibula joint yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan secara lokal sekitar foramen magnum. Kekuatan puncak dan energi untuk setiap kegagalan ditentukan dalam setiap pengujian. Beban rata rata pada setiap fraktur ditemukan dengan kekuatan energi 4300 +350 N. Peneliti dapat menghitung energi untuk fraktur pada tiga dari tes dengan rata-rata 13,0 + 1.7 J. Cedera dihasilkan dengan cara ini konsisten dengan pengamatan klinis fraktur basis cranii.

Peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa ruda paksa pada mandibula saja biasanya hanya menyebabkan fraktur mandibula. Selanjutnya, complete dan partial ring type BSF membutuhkan ruda paksa temporo-mandibular yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan pada daerah sekitar foramen magnum

Jenis Fraktur Basis Cranii
Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed9. Tipe transversal dari fraktur temporal dan type longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini (lihat gambar 3).

Gambar 3. (A)Transverse temporal bone fracture and (B)Longitudinal temporal bone fracture (courtesy of Adam Flanders, MD, Thomas Jefferson University, Philadelphia, Pennsylvania)
Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.
Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit nervus cranialis.
capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.
Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit nervus cranialis.

Pemeriksaan Lanjutan
Studi Imaging
o Radiografi: Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria panel memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur basis cranii. Foto x-ray skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.
o CT scan: CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan potongan sagital, bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat membantu dalam menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.
o MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan4.
Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF, dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah tersebut pada kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah, maka disebut “halo” atau “ring” sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan dengan menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferring.

Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural neurologis tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk berobat jalan dan kembali jika muncul gejala. Sementara itu, Pada Bayi dengan simple fraktur linier harus dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai rupture membrane timpani biasanya akan sembuh sendiri.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis pada bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejang dianjurkan jika kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi, mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole direkomendasikan pada kasus ini.
Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif dengan stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.

Peran antibiotik pada profilaksis fraktur basis cranii
Pemberian antibiotic sebagai terapi profilaksis pada fraktur basis cranii dengan pertimbangan terjadinya kebocoran dari lapisan meningeal akan menyebabkan mikroorganisme pathogen dari saluran nafas atas (hidung dan telinga) dapat mencapai otak dan selaput mengingeal, hal ini masih menjadi controversial. Pemberian antibiotic profilaksis berkontribusi terhadap terjadinya peningkatan resistensi antibiotic dan akan menyebabkan infeksi yang serius
Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan open fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear dengan pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya. Kadang kadang, craniectomy dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur
condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar.
Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan kerusakan ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis longitudinal pada os temporal. Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan atau jika membrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran CSF yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi kebocoran sebelum intervensi bedah dilakukan condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar.
Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan kerusakan ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis longitudinal pada os temporal. Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan atau jika membrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran CSF yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi kebocoran sebelum intervensi bedah dilakukan.